Devotional Blog

Home / Archive by category "Devotional Blog" (Page 8)
KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

“Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.” Ibrani 11:27

Setiap saat dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada banyak hal di mana kita harus membuat pilihan atau keputusan: mulai dari keputusan-keputusan kecil yang tampaknya sepele, sampai kepada keputusan-keputusan besar yang sifatnya sangat penting yang berdampak besar dalam kehidupan kita di kemudian hari. Semisal saat dihadapkan pada kesempatan, entah kesempatan berdoa, membaca Alkitab atau melayani Tuhan, akankah kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin, ataukah kita membuang kesempatan tersebut? Kita lebih memilih nonton televisi daripada berdoa dan baca Alkitab; kita lebih suka hang out dan menyalurkan hobi daripada mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terlibat pelayanan di gereja. Semua sangat bergantung pada keputusan kita. “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.” (Amsal 23:7a).

Mari belajar dari kehidupan Musa. Kita tahu sejarah Musa hingga ia bisa sampai ke Mesir. “Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,” (Keluaran 2:10). Alkitab pun mencatat, “Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” (Kisah 7:22). Selama 40 tahun Musa hidup di istana Mesir, suatu negeri yang kaya dan maju. Karena itu tidaklah mengherankan bila Musa mendapatkan pendidikan tinggi dan juga keahlian. Musa benar-benar menjadi orang yang sangat beruntung. Namun kesemuanya itu tidak membuatnya lupa terhadap bangsa Israel, justru panggilan Tuhan terhadap dirinya terus berkobar-kobar.

Usia 40 tahun menjadi titik balik dalam hidup Musa di mana ia membuat sebuah keputusan yang sangat penting yang sangat menentukan masa depannya dan juga bangsanya. “Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,” (Ibrani 11:24). Menolak disebut anak puteri Firaun berarti Musa harus siap menanggung resiko yaitu kehilangan harta, kehormatan dan kedudukan. Secara manusia keputusan yang diambil Musa dengan mengorbankan semuanya adalah sebuah kerugian besar.

Musa rela melepas kehormatan, kekuasaan dan statusnya sebagi anak puteri Firaun demi merespons panggilan Tuhan!

Baca: Ibrani 11:23-29

Latest posts:

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

“Aku berseru dengan segenap hati; jawablah aku, ya TUHAN! Ketetapan-ketetapan-Mu hendak kupegang.” Mazmur 119:145

Setelah tahu bahwa Tuhan Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, melainkan menjadikan kita sahabat-Nya, maka kita pun harus berusaha supaya kita benar-benar layak disebut sebagai sahabat Tuhan. Langkah awal adalah membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan. Dapatkah kita dikatakan bersahabat dengan seseorang bila kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama orang tersebut? Untuk menjadi sahabat Tuhan Yesus kita pun harus memiliki banyak waktu bersama-Nya. Tekun dalam doa adalah cara untuk kita karib dengan Tuhan dan mengenal pribadi-Nya. Jika kita bersekutu dengan Tuhan hanya sekali dalam seminggu saat ibadah saja, inikah yang disebut karib?

Persahabatan dengan Tuhan harus dibangun setiap waktu. Belajarlah seperti Daniel: “Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.” (Daniel 6:11b).

Berdoa yang dimaksudkan bukan sekedar berdoa saat makan, setelah bangun tidur dan saat mau tidur, tapi kita menyediakan waktu secara khusus dan konsisten untuk Tuhan: bercakap-cakap dengan Dia, mencurahkan isi hati kita, memuji, menyembah dan juga mendengar suaraNya. Sebagai sahabat, Tuhan rindu kita senantiasa melibatkan Dia di segala aspek kehidupan kita, karena itu Ia pun menghendaki kita berdoa dengan tiada berkeputusan dan tidak jemu-jemu. Jadi, “Tetaplah berdoa.” (1 Tesalonika 5:17), artinya tiada waktu yang terlewatkan tanpa kita berkomunikasi dengan Tuhan. Selanjutnya adalah merenungkan firman Tuhan siang dan malam. Mustahil seseorang menjadi sahabat Tuhan tanpa mengetahui kehendak dan rencana-Nya yang tertulis dalam Alkitab.

Mari kita belajar dan meneladani hidup Daud yang sangat menghormati  dan menghargai firman Tuhan sehingga ia berkata, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Peringatan-peringatan-Mu ajaib, itulah sebabnya jiwaku memegangnya.”  (Mazmur 119:97, 129).

Baca: Mazmur 119:145-152

Latest posts:

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (2)

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (2)

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Yohanes 15:13

Amsal 17:17: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Yesus telah membuktikan kasih-Nya yang besar bagi kita melalui kematian-Nya di kayu salib. Dia rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa-dosa kita. Kalau nyawa-Nya saja rela. Dia serahkan, kita pun percaya apapun yang kita butuhkan dan perlukan pasti Tuhan sediakan bagi kita. “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:19).

Karena Yesus telah menunjukkan kasih-Nya sedemikian rupa, kita pun harus mengasihi Dia dengan sepenuh hati. Apabila kita mengasihi Tuhan selayaknya kasih seorang sahabat, maka kita akan berusaha untuk menjaga perasaan sahabat kita, serta berpikir seribu kali bila hendak menyakiti atau melukai perasaan-Nya. Namun justru kita sering menyakiti hati Tuhan dan mengecewakan Dia melalui tindakan dan perbuatan kita. Jangankan taat melakukan perintah-Nya, menyediakan waktu untuk bersekutu dan mendekat kepada-Nya saja jarang sekali kita lakukan. Kita berkutat dengan kesibukan diri sendiri dan mengabaikan kehadiran-Nya. Jika demikian layakkah kita disebut sahabat Tuhan? Padahal Tuhan sudah mengulurkan tangan-Nya untuk menjalin persahabatan dengan kita. Yakobus menasihati, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu.” (Yakobus 4:8a).

Tuhan Yesus adalah sahabat sejati orang percaya. Sahabat yang sejati rela berkorban, dan Yesus sudah membuktikannya dengan memberikan nyawa-Nya untuk kita. Bukan hanya itu, Dia juga berjanji tidak akan meninggalkan kita dan akan terus menyertai kita sampai kesudahan zaman. Bahkan, di setiap perjalanan hidup yang kita tempuh Tuhan berjanji, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” (Yesaya 46:4).

Tuhan Yesus adalah sahabat sejati kita: Dia rela mati untuk kita, menyertai, mengasihi dan menyediakan pertolongan tepat pada waktuNya!

Baca: Yohanes 15:9-17

 

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (1)

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (1)

“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Yohanes 15:15

Suatu anugerah luar biasa yang diperoleh setiap orang percaya karena Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, tapi “…menyebut kamu sahabat,” (ayat nas). Sahabat bukanlah sekedar hubungan biasa, melainkan terjalin sangat intim (karib) serta dilandasi oleh sebuah kepercayaan. Untuk menjadi orang yang bisa dipercaya oleh orang lain bukanlah hal yang mudah, terlebih-lebih yang memberi kepercayaan itu adalah Tuhan.

Bukti kepercayaan Tuhan adalah diberitahukan-Nya segala sesuatu yang didengar-Nya dari Bapa. Pemazmur juga menegaskan, “TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.” (Mazmur 25:14). Secara manusia sulit untuk dipahami bahwa Tuhan mau dan menginginkan kita menjadi sahabat-Nya. Namun hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sangat menginginkan kita makin mengenal-Nya lebih dekat. Inilah hak istimewa dan terbesar bagi setiap orang percaya: dikenal, dikasihi dan dijadikan sahabat oleh Tuhan. Memiliki seorang sahabat berarti kita dapat berjalan seiring sejalan, saling menguatkan dan saling berbagi kasih yang tulus; dan hanya sahabat sejatilah yang mau tetap ada untuk kita di segala keadaan. Alangkah indahnya saat kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus sudah menyatakan diriNya sendiri sebagai sahabat sejati bagi orang percaya. Artinya segala hal yang baik dan istimewa yang tidak bisa kita dapatkan dari seorang sahabat di dunia ini bisa kita dapatkan jauh lebih dari apapun melalui kasih yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus.

Bagaimana kita bisa layak disebut sebagai sahabat Tuhan Yesus? KataNya, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” (Yohanes 15:14). Melakukan perintah Tuhan adalah syarat utama untuk beroleh kepercayaan sebagai sahabat Tuhan
Yesus. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yohanes 15:!2).

Apabila kita taat melakukan apa yang diperintahkan Tuhan yaitu saling mengasihi, maka kita memperoleh hak yang sangat istimewa yaitu menjadi sahabat Tuhan Yesus.

Baca: Yohanes 15:9-17

Latest posts:

PERSAHABATAN DENGAN ALLAH

PERSAHABATAN DENGAN ALLAH

“Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” 1 Yohanes 4:10

Mungkin saat ini Saudara merasa sendiri karena tidak ada orang lain yang mempedulikan dan memperhatikan. Saat berada di situasi sulit justru teman-teman dekat mundur teratur dan beranjak menjauh. Hari-hari Saudara pun terasa hampa dan sepi. Jangan terus larut dalam kepedihan dan merasa sendiri. Tidak! Kita tidak pernah sendiri, ada Yesus yang akan selalu menyertai, menemani dan memeluk kita. “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5b).

Mari kita flashback sejenak. Di awal penciptaan manusia kita melihat suatu hubungan yang sangat karib terjalin antara Allah dengan manusia di taman Eden. Adam dan Hawa menikmati persahabatan begitu mesra dengan Allah. Tidak ada ritual agama, tidak ada upacara, yang ada hanyalah hubungan kasih yang begitu intim antara Allah dengan manusia yang diciptakan-Nya. Tidak ada jarak antara Allah dan manusia! Tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, hubungan yang karib itu lenyap dan terputus. “…yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” (Yesaya 59:2). Namun Yesus mengubah segala sesuatunya ketika Dia membayar dosa-dosa kita di Kalvari. “…tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah,” (Matius 27:51).

Tabir Bait Suci yang melambangkan pemisahan dari Allah telah robek dari atas ke bawah, artinya jalan masuk kepada Allah kembali tersedia. Kini setiap orang percaya bisa mendekati Allah dengan penuh keberanian. “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” (Efesus 3:12). Persahabatan dengan Allah dimungkinkan hanya karena kasih karunia yang dinyatakan melalui Yesus Kristus. “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya…” (2 Korintus 5:18).

Inisiatif pemulihan hubungan itu datangnya dari Allah sendiri melalui pengorbanan Yesus, yang oleh-Nya kita beroleh persekutuan karib seperti sediakala.

Baca: 1 Yohanes 4:7-21

PERSAHABATAN SEJATI: Daud dan Yonatan

PERSAHABATAN SEJATI: Daud dan Yonatan

“Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri.” 1 Samuel 18:3

Di dalam Alkitab kita akan menemukan seorang persahabatan sejati yaitu persahabatan antara Daud dan Yonatan. Alkitab menyatakan, “Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri.” (1 Samuel 18:1). Kata berpadulah artinya terjalin begitu erat dan kuat, tak terpisahkan. Kasih yang terjalin di antara keduanya melebihi kasih saudara kandung. Inilah kasih seorang sahabat sejati yang “…menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:17). Atas dasar kasih inilah Yonatan dan Daud mengikat perjanjian dan saling berkomitmen. Perjanjian adalah bukti adanya kesatuan dalam hati dan jiwa.

Kasih seorang sahabat tidak melihat rupa, tingkat pendidikan, status atau pun pangkat. Yonatan, yang adalah putera raja Saul, tidak pernah merasa malu telah menjadikan Daud sebagai sahabatnya meski profesi Daud hanyalah seorang gembala. Perbedaan status bak langit dan bumi bukan jadi penghalang bagi keduanya untuk membangun sebuah persahabatan. Ketika Daud hendak terjun ke medan peperangan, Yonatan pun rela “…menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya.” (1 Samuel 18:4), padahal jubah dan perlengkapan perang adalah lambang kehormatan dan kedudukan. Namun inilah bukti kasih dan kerendahan hati Yonatan. Bukan hanya itu, Yonatan juga rela mempertaruhkan nyawanya demi Daud (baca 1 Samuel 20:30-34). Sahabat sejati pasti mau dan rela berkorban demi sahabatnya.

Setelah menduduki tahta Israel Daud tidak begitu saja melupakan janji dan komitmennya dengan Yonatan. Meski Yonatan telah tiada kasih Daud tidak berubah, terbukti dari tindakan Daud yang bersedia merawat anak Yonatan yaitu Mefiboset. Kata Daud, “Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku.” (2 Samuel 9:7).

Persahabatan sejati: ada kasih, kesetiaan dan komitmen.

Baca: 1 Samuel 18:1-5

PERSAHABATAN: Kasih Yang Tulus

PERSAHABATAN: Kasih Yang Tulus

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Amsal 17:17

Walter Winchell, seorang wartawan dan juga komentator radio kenamaan Amerika berpendapat tentang arti seorang sahabat: “Sahabat adalah seseorang yang menghampiri Anda, menemani Anda, di saat orang lain meninggalkan Anda.” Artinya seorang sahabat yang sejati itu bukan hadir di kala senang saja, melainkan juga saat susah. Alkitab lebih jelas menyatakan bahwa “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu,” Kualitas seorang sahabat akan teruji saat sahabatnya sedang berada di ‘bawah’ atau jatuh. Karena didasari oleh kasih yang tulus, seorang sahabat akan tetap berada di sisi sahabatnya di segala keadaan dan mau menerima keberadaannya secara utuh apa adanya.

Selain itu sahabat adalah orang yang tidak hanya sekedar menyenangkan hati sahabatnya semata, tetapi juga mau menegor dan ditegor, mau mengoreksi dan dikoreksi, yang kesemuanya itu demi kebaikan bersama. Tidak seperti Yudas, meski secara kasat mata mencium Yesus, namun sesungguhnya ia menikam dari belakang dan mengkhianati Dia. “Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” (Amsal 27:6). Sikap yang ditunjukkan Yudas adalah bentuk persahabatan yang palsu, penuh kepura-puraan karena ada motivasi yang terselubung. Kasih yang tulus itu “…tidak mencari keuntungan diri sendiri.” (1 Korintus 13:5). Sahabat yang sejati juga akan menjaga komitmennya untuk tidak membuka rahasia pribadi sahabatnya ke orang lain demi kepentingan diri sendiri. Kasih itu “…Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1 Korintus 13:7).

Oleh karena itu “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib.” (Amsal 17:9). Kasih yang tulus identik dengan kesetiaan! Tanpa kasih mustahil seseorang akan menunjukkan kesetiaan dengan sungguh. Itulah sebabnya “Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya;” (Amsal 19:22).

Kasih seorang sahabat tak lekang oleh waktu, penuh komitmen dan teruji kesetiaannya, semua dilakukan bukan karena terpaksa, tapi penuh kerelaan.

Baca: Amsal 17:1-28

Latest posts:

PERSAHABATAN: Adanya Keterbukaan

PERSAHABATAN: Adanya Keterbukaan

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Amsal 27:6

Mungkin ada komentar, “Jaman sekarang ini adakah persahabatan sejati? Yang ada cuma kepentingan abadi saja!” Tidaklah gampang menemukan sahabat di jaman sekarang ini, di mana orang lebih cenderung mementingkan diri sendiri, mencintai dirinya sendiri dan “…kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” (Matius 24:12), sehingga hubungan antarindividu lebih didasarkan pada sebuah kepentingan. Akibatnya banyak orang lebih memilih menarik diri, membangun tembok-tembok di sekeliling sebagai pembatas, menyendiri dan menjadi pribadi yang tertutup. Mereka merasa enggan membuka diri, apalagi melepaskan dan mengungkapkan perasaan terdalam kepada orang lain.

Sementara untuk membangun suatu persahabatan dibutuhkan tahap demi tahap dan tidak semua orang mau menempuhnya, padahal sahabat tidak dapat kita temukan secara instan. Tahapan itu dimulai dari perkenalan, saling membuka diri, lalu kesediaan untuk memberi dan menerima, berjalan dalam kebersamaan di segala situasi baik itu suka maupun duka, serta mampu memberi nilai tambah yang positif bagi kita. Secara garis besar, seorang sahabat haruslah memenuhi kriteria yang konstruktif. Di samping itu adanya keterbukaan satu sama lain. Faktor inilah yang mempererat sebuah persahabatan. Sydney Jourard, seorang ahli jiwa, dalam bukunya yang berjudul The Transparent Self menyatakan bahwa secara alamiah kepribadian manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan dirinya; dan apabila hal itu terhambat dan kita menutup diri terhadap orang lain, maka kita akan mengalami gangguan secara emosional.

Bagaimanapun juga suatu persahabatan dimulai karena adanya kepentingan, tapi bukan kepentingan secara sepihak atau ada motivasi terselubung, namun sebuah bentuk kerjasama yang saling terbuka, menguntungkan, memahami dan mengisi satu sama lain. Adalah gampang untuk membangun pertemanan karena bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, bahkan dalam waktu yang singkat sekalipun. Hal ini tidak berlaku untuk mencari sahabat!

Persahabatan dibangun melalui proses waktu yang diawali oleh keterbukaan satu sama lain, sebab sahabat bukanlah teman biasa!

Baca: Amsal 27:1-27

Latest posts:

MEMBANGUN PERSAHABATAN

MEMBANGUN PERSAHABATAN

“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” Amsal 27:17

Adakah di antara saudara yang merasa diri tidak membutuhkan orang lain dalam hidup ini? Atau mungkin ada yang berkata, “Ah…aku tidak butuh orang lain, karena aku bisa melakukan segala sesuatu sendiri dan punya segala-galanya.” Benarkah demikian? Sekecil apapun aktivitas keseharian kita akan selalu bersentuhan dengan orang lain, artinya selalu terjalin interaksi dengan orang lain, dengan hadirnya orang-orang di dekat kita. Di lingkungan tempat tinggal, kita mempunyai tetangga; di sekolah, kita menghabiskan banyak waktu dengan teman sekelas untuk belajar dan berdiskusi, di tempat pekerjaan ada rekan-rekan kerja yang bekerja sama, bahkan di gereja pun kita membangun persekutuan yang erat dengan saudara-saudara seiman lainnya.

Ayat nas di atas menyatakan bahwa “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” Artinya pembentukan atau pematangan pribadi seseorang itu sangat ditentukan oleh kerelaannya ‘digosok dan digesek’ oleh orang lain. Dengan persekutuan dengan sesamanya seseorang akan mengalami penajaman-penajaman sebagai proses. Jadi penajam-penajam kita itu bukanlah dari orang yang jauh, melainkan dari orang-orang yang berada di sekitar kita. Karena itu “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” (Amsal 13:20). Dengan siapa kita bergaul dan orang-orang terdekat yang bagaimana itulah yang akan berpengaruh besar dalam perjalanan hidup kita. Rasul Paulus pun mengingatkan kita, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33). Sydney Smith mengatakan, “Hidup ini harus diisi dengan banyak persahabatan. Mengasihi dan dikasihi adalah kebahagiaan terbesar dalam kehidupan.” Kehadiran orang lain dalam hidup kita, entah itu teman atau sahabat adalah sangat penting

Jika kita rindu memiliki seseorang untuk kita jadikan sebagai sahabat, kita perlu ekstra hati-hati dan harus benar-benar selektif, sebab seorang sahabat bukanlah sekedar teman biasa. Perjumpaan dengan seorang sahabat bukanlah suatu hal yang secara kebetulan, namun merupakan suatu proses yang penuh pertimbangan, dan hal itu membutuhkan waktu yang tidak singkat

Sahabat adalah orang spesial dalam hidup, jadi jangan asal dalam memilih.

Baca: Amsal 27:1-27

Latest posts:

MENJADI TAWANAN ROH KUDUS

MENJADI TAWANAN ROH KUDUS

“Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ.” Kisah 20:22

Dalam Galatia 5:24-25 tertulis: “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Artinya setiap orang yang memutuskan untuk menjadi mengikut Kristus “…wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (1 Yoh 2:6).

Kita tidak akan dapat hidup sama seperti Kristus telah hidup jika kita tidak mau membayar harga. Adapun harga itu adalah penyangkalan diri. Menyangkal diri berarti ‘mati’ terhadap kedagingan kita dan menjalani hidup seutuhnya sebagai manusia baru, dengan meninggalkan kehidupan lama; menaruh kehendak Tuhan di atas kehendak pribadi serta menyerahkan hak dan otoritas diri kita sepenuhnya kepada Tuhan serta mengakui Dia sebagai pemegang hak dan otoritas penuh untuk menentukan bagaimana kita harus hidup. Dengan kekuatan sendiri mustahil kita bisa menyangkal diri, tapi dengan pertolongan Roh Kudus kita beroleh kekuatan dan kesanggupan untuk menyangkal diri. Hanya Roh Kudus yang mampu mematikan setiap keinginan daging kita karena Ia berperan memimpin orang percaya kepada segala kebenaran. Jadi segala sesuatu yang berkenaan dengan kebenaran, kekudusan atau hidup yang tak bercacat cela sepenuhnya ada dalam kontrol Roh Kudus dan menjadi arah ke mana kita akan dibawa-Nya. Hidup dalam pimpinan Roh Kudus inilah yang menjadi tanda bahwa kita ini adalah anak-anak Allah. “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” (Roma 8:14).

Rasul Paulus memberi sebuah keteladanan hidup yang sepenuhnya dipimpin oleh Roh Kudus, bahkan ia menyebut dirinya sebagai tawanan Roh. Arti kata tawanan adalah orang yang ditawan, ditangkap atau ditahan. Menjadi tawanan Roh berarti hidup Paulus sepenuhnya dikendalikan oleh Roh Kudus. Terbukti: Paulus rela meninggalkan segala-galanya demi Kristus (Filipi 3:7-8), rela menderita demi Injil dan menyerahkan seluruh hidupnya secara penuh untuk melayani Tuhan sampai garis akhir hidupnya.

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” Filipi 1:21-22

Baca: Kisah Para Rasul 20:17-38

Latest posts: