Devotional Blog

Home / Archive by category "Devotional Blog" (Page 7)
PELAKU FIRMAN: Ada Berkat dan Kebahagiaan (1)

PELAKU FIRMAN: Ada Berkat dan Kebahagiaan (1)

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja;” Yakobus 1:22

Renungan hari ini menasihati dan mengingatkan kita supaya menjadi anak-anak Tuhan yang taat. Taat artinya menjadi pelaku firman. Mengapa? Karena ketaatan adalah syarat untuk mengalami berkat Tuhan. Semua orang percaya pasti tahu kebenaran ini, tapi dalam prakteknya kita sulit sekali melakukan apa yang diminta Tuhan. Di sisi lain kita menuntut Tuhan untuk memberkati hidup kita. Pemazmur menyatakan, “Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai.” (Mazmur 5:13). Salomo pun turut menulis, “Berkat ada di atas kepala orang benar,” (Amsal 10:6). Orang benar adalah orang yang hidup tidak bercela, yang melakukan firman Tuhan dalam hidupnya.

Untuk menjadi pelaku firman diperlukan tindakan iman yang nyata dalam kehidupan kita, sebab berkat itu sudah disediakan Tuhan, sedangkan bagian kita adalah mengambil berkat tersebut. Maukah kita melangkah untuk mengambil berkat itu atau tidak? Selama kita diam saja dan tidak mau melangkah, sampai kapan pun kita tidak akan mendapatkan berkat yang sudah tersedia di depan mata itu. Melangkah berarti mau melakukan apa yang diperintahkan Tuhan. Contoh: Alkitab menasihati kita untuk tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah (baca Ibrani 10:25), maka kita pun harus setia beribadah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, menghargai waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan, sehingga kita pun dapat berkata, “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik.” (Mazmur 84:11).

Firman Tuhan memerintahkan kita untuk mengembalikan persepuluhan (baca Maleakhi 3:10), sudahkah kita setia mengembalikan persepuluhan?
Ketika kita melakukan firman Tuhan, selain kita akan diberkati Tuhan, juga akan disebut sebagai orang yang berbahagia alias menikmati kebahagiaan hidup. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.” (Yakobus 1:25). (Bersambung)

Baca: Yakobus 1:19-27

Latest posts:

HIKMAT: Lebih Berharga dari Harta dan Pangkat

HIKMAT: Lebih Berharga dari Harta dan Pangkat

“Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus.” Amsal 4:11

Karena hikmat yang dimiliki plus berkat kekayaan sebagai bonus dari Tuhan, Salomo menjadi raja yang sangat terkenal. Alkitab mengatakan, “Raja Salomo melebihi semua raja di bumi dalam hal kekayaan dan hikmat.” (1 Raja-Raja 10:23). Berita tentang kehebatan Salomo ini sampai juga ke telinga Ratu Syeba. Tidak puas hanya sekedar mendengar, Ratu Syeba pun datang ke Yerusalem dengan rombongan besar dan membawa banyak persembahan (baca 1 Raja-Raja 10:1-2). Bahkan Ratu Syeba pun berkesempatan untuk menguji dan membuktikan kebenaran berita itu.

Memiliki kekayaan bagi seorang raja adalah hal yang lumrah, tapi memiliki hikmat yang luar biasa, tidak semua raja memilikinya. Kedatangan Ratu Syeba adalah bukti betapa ia pun sangat merindukan hikmat seperti yang dimiliki oleh Raja Salomo. Dengan kata lain, Ratu Syeba sudah memiliki segalanya (kecantikan, kekayaan, kedudukan) masih merasa kurang karena ia tidak memiliki hikmat seperti yang dimiliki oleh Salomo. Hal itu membuktikan bahwa hikmat jauh lebih berharga dan bernilai dari apa pun juga. “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya.” (Amsal 3:13-15). Dari manakah datangnya hikmat? “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” (Amsal 2:6). Tertulis pula, “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.” (Amsal 9-10).

Kita diperintahkan mencari dan mengejar hikmat itu. Mencari dan mengejar adalah kata kerja aktif, artinya dibutuhkan kesungguhan dan tindakan nyata memperolehnya. Hikmat adalah anugerah Tuhan, tapi harus ada usaha kita. Tanpa upaya kita tidak mungkin mendapatkannya. Jika menyadari ini kita akan berusaha sedemikian rupa mengejarnya lebih dari mengejar harta duniawi.

“Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya.” Amsal 8:11

Baca: Amsal 4:1-27

Latest posts:

HIKMAT BAGI PEMIMPIN

HIKMAT BAGI PEMIMPIN

“Maka sekarang, ya TUHAN, Allahku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman.” 1 Raja-Raja 3:7

Pada waktu menjabat sebagai raja atas Israel usia Salomo masih sangatlah muda dan bisa dikatakan belum banyak makan asam garam kehidupan, alias belum punya banyak pengalaman. Usia muda adalah usia yang penuh gejolak, di mana hati dan pikiran dipenuhi oleh banyak keinginan. Misal ada orang yang menjanjikan akan memberikan apa saja permintaan dan keinginan seorang anak muda, tanpa berpikir panjang ia akan mengajukan sederet permintaan demi memuaskan hasrat dan keinginannya: minta pacar yang cantik atau ganteng, minta uang yang banyak, minta mobil, minta rumah atau harta kekayaan lainnya. Itu adalah hal yang sangat wajar, maklum anak muda!

Suatu ketika Tuhan menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi ketika ia mempersembahkan korban di Gibeon, firmanNya, “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu.” (1 Raja-Raja 3:5). Ternyata Salomo tidak meminta hal yang dipikirkan anak-anak muda kebanyakan: uang, emas, perak, harta, melainkan hikmat. Apa itu hikmat? dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmat diartikan kebijakan, kearifan, dan bisa pula diartikan dengan kepandaian, kebijaksanaan, pengertian dan pengetahuan. Hikmat adalah hal penting yang sangat dibutuhkan pemimpin atau raja untuk memimpin suatu bangsa. Dengan hikmat Tuhan inilah Salomo beroleh kesanggupan “…menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini? Lalu adalah baik di mata Tuhan bahwa Salomo meminta hal yang demikian.” (1 Raja-Raja 3:9-10).

Tuhan memberikan apa yang diinginkan Salomo, bahkan hal berikut ini: “apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan, sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti engkau di antara raja-raja.” (1 Raja-Raja 3:13). Karena berhikmat Salomo dapat menjalankan tugas pemerintahan dan memimpin bangsanya dengan adil dan benar.

“…hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.” 1 Raja-Raja 3:28

Baca: 1 Raja-Raja 3:1-15

Latest posts:

JALAN ORANG FASIK

JALAN ORANG FASIK

“Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.” Amsal 4:19

Berkat dan kebahagiaan adalah dua hal yang dirindukan dan diimpikan oleh semua orang. Siapakah di antara kita yang tidak mau diberkati dan bahagia? Tak seorang pun. Itulah sebabnya banyak orang menempuh jalan yang salah guna mewujudkan keinginannya itu.

Bagi orang-orang dunia berkat dan kebahagiaan selalu mereka identikan dengan banyaknya uang, harta yang melimpah, rumah megah, mobil mewah, pangkat dan kedudukan yang tinggi. Akhirnya berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan semuanya itu. Sayang, banyak dari mereka yang menempuh jalan yang salah dan sesat. Contoh yang marak dilakukan dan sepertinya sudah menjadi tradisi bagi para pejabat pemerintahan negeri ini yaitu menyalahgunakan jabatan dengan melakukan tindakan korupsi; ada pula yang melakukan bisnis kotor dengan menipu sana-sini; tidak sedikit pula orang yang berduyun-duyun pergi ke dukun, kuburan, gunung Kawi minta pesugihan dan penglaris supaya usaha dan tokonya menjadi laris. Dari tindakan-tindakan ini, benarkah mereka menikmati berkat dan merasakan kebahagiaan yang mereka impikan? “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” (Amsal 14:12). Tidak. Faktanya para koruptor tidak bisa menikmati kekayaannya, bahkan pada akhirnya mereka harus menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi. Sedangkan mereka yang menempuh jalan sesat dengan melibatkan kuasa-kuasa gelap, Iblis pasti tidak akan tinggal diam dan berperkara karena semua yang diberikannya itu tidak gratis, melainkan ada harga yang harus dibayar. Jelas dikatakan bahwa Iblis datang “…untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan;” (Yohanes 10:10a). Tak bisa dibayangkan betapa ngerinya seseorang yang berada dalam belenggu Iblis!

Tidak seharusnya orang percaya mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang dunia ini karena kita punya Tuhan yang hidup dan berkuasa, yang adalah sumber berkat dan kebahagiaan itu. Melalui kebenaran firman-Nya Tuhan sudah menunjukkan jalan yang harus kita tempuh untuk mendapatkan semuanya itu.

“Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan orang jahat.” Amsal 4:14

Baca: Amsal 4:11-27

Latest posts:

MENGERJAKAN PANGGILAN: Kasih dan Pelayanan

MENGERJAKAN PANGGILAN: Kasih dan Pelayanan

“tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Efesus 4:15

Kalau hati kita sudah beres kita pasti akan mengerjakan segala sesuatu dengan motivasi yang benar dan tanpa ada keterpaksaan. Hati yang beres adalah hati yang sudah dijamah oleh Roh Kudus.

Jika Roh Kudus sudah menjamah hatimu, “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.” (Yehezkiel 36:26-27). Sebelum dijamah Roh Kudus hatimu tentu dipenuhi keinginan dan ambisi pribadi, semua terfokus pada diri sendiri. Setelah mengalami jamahan-Nya hatimu dipenuhi belas kasihan dan empati, dan sesuai perintah Tuhan, “Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Efesus 4:2b), serta “…marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3:18).

Ketika kita menyadari akan panggilan Tuhan kita pasti akan bersemangat dan sangat antusias untuk mengerjakan perkara-perkara rohani. “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11). Karena sadar bahwa kita ada sebagaimana kita ada sekarang ini semata-mata karena anugerah dan campur tangan Tuhan, maka kita pun tidak serta-merta hanya puas menerima anugerah Tuhan, melainkan kita rindu untuk melangkah ke tingkat kehidupan yang dikehendaki Tuhan yaitu hidup dan menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain, karena itu kita berkomitmen untuk mempersembahkan hidup kita untuk melayani Tuhan. “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,” (Efesus 4:11-12).

Tindakan kasih dan memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan adalah bukti nyata seseorang mengerjakan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Baca: Efesus 4:1-16

MENGERJAKAN PANGGILAN: Menjaga Sikap Hati

MENGERJAKAN PANGGILAN: Menjaga Sikap Hati

“Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.” Efesus 4:1

Tuhan memanggil kita untuk menjadi berbeda dari dunia ini, sebab “…kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” (1 Petrus 2:9). Apakah kita memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan ini?

Setelah kita dipanggil, keberadaan kita bukan lagi seperti orang biasa lagi melainkan menjadi orang-orang pilihan Tuhan. Karena kita adalah orang-orang pilihan, secara otomatis kita memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar yaitu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Tuhan, yaitu menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini; dan mengerjakan panggilan Tuhan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar berteori atau berkata-kata muluk seperti biasa dilakukan orang-orang yang sedang berkampanye. Itulah yang disampaikan Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus ini. Bukti kalau seseorang memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan adalah “…rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” (Efesus 4:2a). Tanpa sikap hati yang benar sulit hidup berpadanan dengan panggilan Tuhan. Semua itu dimulai dari hati. Mengapa? “Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu.” (Amsal 27:19), sebab “…apa yang keluar dari mulut berasal dari hati…Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,” (Matius 15:18-19). Maka dari itu “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Jadi, dalam mengerjalan panggilan Tuhan penting sekali kita menjaga hati kita agar tetap “humble”, lemah lembut dan sabar, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7b). Apabila hati kita sudah teruji, kita akan mengerjakan panggilan Tuhan itu tanpa persungutan, keluh kesah, tidak mudah kecewa dan tetap kuat meski berada di situasi-situasi sulit. Jaga sikap hati dalam mengerjakan panggilan Tuhan!

Baca: Efesus 4:1-16

Latest posts:

FOKUS MENGERJAKAN PANGGILAN

FOKUS MENGERJAKAN PANGGILAN

“Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.” 2 Petrus 1:10

Dalam perlombaan iman, ada banyak sekali tantangan yang siap menghadang, menghalangi, melemahkan serta menghentikan langkah kita. Rasul Petrus pun turut mengingatkan agar kita berusaha dengan sungguh supaya panggilan kita makin teguh. Supaya makin teguh perlu sebuah perjuangan. Mengapa kita harus berjuang? Karena ada musuh yang selalu mengintai dan siap menghancurkan jika kita lengah.

Iblis adalah musuh utama orang percaya. Iblis tahu benar bahwa di dalam diri orang percaya ada kuasa Roh Kudus, “…lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.” (1 Yohanes 4:4). Hal itu mendorongnya untuk mencari celah sekecil apapun kelemahan kita. Karena itu di segala keadaan kita harus tetap berjuang dan senantiasa berjaga-jaga agar tidak lengah. “…aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya,” (1 Korintus 9:27). Musuh terbesar lainnya adalah kedagingan kita sendiri. “roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41). Daging tak pernah berhenti menguji kita, bahkan terus berusaha mengikat kita supaya kita takluk kepadanya dan menuruti segala keinginannya. Bukankah ada banyak orang Kristen, baik itu jemaat awam dan tak terkecuali mereka yang sudah terlibat dalam pelayanan, tetap saja memiliki cara hidup yang sangat duniawi sebagai bukti ketidakmampuan mereka menaklukkan keinginan daging.

Adalah sangat mudah bagi Tuhan untuk menyingkirkan semua tantangan yang ada, tapi justru Tuhan hendak memakai tantangan sebagai alat penguji ketekunan kita agar kita mau berjuang. Berjuang bukan dengan kekuatan sendiri melainkan di dalam penyertaan Roh Kudus. Anugerah kemenangan dan keberhasilan sudah dirancangkan Tuhan bagi kita, adapun bagian kita adalah berjuang melawan tipu muslihat Iblis dan kedagingan kita.

Kerelaan kita untuk dibentuk Tuhan melalui tantangan yang ada dan semakin memperteguh panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Baca: 2 Petrus 1:3-15

Latest posts:

DALAM PERLOMBAAN IMAN

DALAM PERLOMBAAN IMAN

“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” 1 Korintus 9:24

Rasul Paulus mengumpamakan perjalanan kehidupan rohani orang percaya itu seperti olahragawan (pelari dan petinju) yang sedang bertanding di arena pertandingan. Apa maksudnya? Melalui perumpamaan ini Paulus hendak mengingatkan dan mendorong semua orang percaya agar mau berjuang sedemikian rupa dalam perlombaan iman demi meraih tujuan akhir yaitu mendapatkan mahkota kehidupan, sebagaimana seorang olahragawan yang tampil habis-habisan demi mewujudkan keinginannya menjadi juara dalam setiap pertandingan yang diikutinya.

Tidak pernah ada di kamus mana pun yang menyatakan bahwa seorang olahragawan yang tidak pernah berlatih keras, tidak punya kedisiplinan dan gampang putus asa akan merasakan indahnya berada di atas podium juara. Pula, tak seorang pun olahragawan yang berkeinginan menjadi pecundang, semuanya pasti ingin meraih prestasi setinggi langit dan menjadi yang terbaik! Yang harus selalu kita ingat adalah bahwa dalam setiap pertandingan olahraga (cabang apa pun) hanya akan menghasilkan satu orang pemenang saja, dialah yang berhak atas mahkota juara atau medali emas. Meski mahkota yang diperolehnya hanya bersifat fana, semua olahragawan bertanding dengan semangat tinggi dan antusias, bahkan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Terlebih-lebih dalam hal pertandingan iman, di mana pemenanganya akan mendapatkan mahkota yang abadi yaitu kehidupan kekal, maka sudah selayaknya kita berjuang lebih keras lagi. Karena itu “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Roma 12:11), sebab tidak ada kemajuan atau kedewasaan rohani terjadi secara instan atau datang tiba-tiba seperti durian runtuh dari langit. Kesemuanya harus melalui proses panjang: ada latihan keras, ada disiplin diri dan pantang menyerah. Inilah harga yang harus kita bayar!

“Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.” Wahyu 2:10b

Baca: 1 Korintus 9:24-27

Latest posts:

KEPUTUSAN MUSA: Menolak Kesenangan Dunia

KEPUTUSAN MUSA: Menolak Kesenangan Dunia

“karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa.” Ibrani 11:25

Orang-orang dunia acap kali menilai ‘harga’ seseorang dari harta, gelar, popularitas, pangkat atau kedudukan. Wajarlah jika kita menilai bahwa tindakan Musa melepas kehormatan di Mesir adalah tindakan bodoh? Benarkah? Secara duniawi, ya…tapi dari sudut pandang rohani justru Musa telah mengorbankan perkara-perkara duniawi (fana) demi mendapatkan berkat yang sifatnya kekal.

Keputusan Musa ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paulus, yang rela melepaskan semuanya demi Kristus, “…yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” (Filipi 3:7-8).

Adalah mudah bagi seseorang yang tidak memiliki harta atau segala sesuatu yang berharga di dunia ini untuk membuat keputusan mengikut Tuhan dan mengerjakan panggilan-Nya. Sebaliknya teramat sulit bagi orang seperti Musa yang memiliki segala-galanya, apalagi dalam usia 40 tahun tentunya sudah banyak menikmati kenyamanan. Demi merespons panggilan Tuhan Musa memutuskan meninggalkan segala kesenangan duniawi. “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.” (1 Yohanes 2:15-16).

Dari semula kesenangan duniawi memikat hati dan menyilaukan mata manusia. Karena itu banyak orang memilih bersahabat dengan dunia ini dan menjadi musuh Allah. Mereka lupa bahwa dampak dosa sangat mengerikan, “Sebab upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23). Kehidupan orang fasik itu akan berujung kepada maut, tapi “…orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:17).

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

“Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.” Ibrani 11:27

Setiap saat dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada banyak hal di mana kita harus membuat pilihan atau keputusan: mulai dari keputusan-keputusan kecil yang tampaknya sepele, sampai kepada keputusan-keputusan besar yang sifatnya sangat penting yang berdampak besar dalam kehidupan kita di kemudian hari. Semisal saat dihadapkan pada kesempatan, entah kesempatan berdoa, membaca Alkitab atau melayani Tuhan, akankah kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin, ataukah kita membuang kesempatan tersebut? Kita lebih memilih nonton televisi daripada berdoa dan baca Alkitab; kita lebih suka hang out dan menyalurkan hobi daripada mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terlibat pelayanan di gereja. Semua sangat bergantung pada keputusan kita. “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.” (Amsal 23:7a).

Mari belajar dari kehidupan Musa. Kita tahu sejarah Musa hingga ia bisa sampai ke Mesir. “Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,” (Keluaran 2:10). Alkitab pun mencatat, “Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” (Kisah 7:22). Selama 40 tahun Musa hidup di istana Mesir, suatu negeri yang kaya dan maju. Karena itu tidaklah mengherankan bila Musa mendapatkan pendidikan tinggi dan juga keahlian. Musa benar-benar menjadi orang yang sangat beruntung. Namun kesemuanya itu tidak membuatnya lupa terhadap bangsa Israel, justru panggilan Tuhan terhadap dirinya terus berkobar-kobar.

Usia 40 tahun menjadi titik balik dalam hidup Musa di mana ia membuat sebuah keputusan yang sangat penting yang sangat menentukan masa depannya dan juga bangsanya. “Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,” (Ibrani 11:24). Menolak disebut anak puteri Firaun berarti Musa harus siap menanggung resiko yaitu kehilangan harta, kehormatan dan kedudukan. Secara manusia keputusan yang diambil Musa dengan mengorbankan semuanya adalah sebuah kerugian besar.

Musa rela melepas kehormatan, kekuasaan dan statusnya sebagi anak puteri Firaun demi merespons panggilan Tuhan!

Baca: Ibrani 11:23-29

Latest posts: