MEMILIH UNTUK TETAP PERCAYA SAAT TUHAN DIAM ATAU TERASA JAUH

Home / Weekly Message / MEMILIH UNTUK TETAP PERCAYA SAAT TUHAN DIAM ATAU TERASA JAUH
MEMILIH UNTUK TETAP PERCAYA SAAT TUHAN DIAM ATAU TERASA JAUH

PENDAHULUAN

Setiap kita pernah atau sedang mengalami pergumulan dan merasa Tuhan seolah diam dan terasa jauh padahal kita sudah mengucap syukur, memuji menyembah Tuhan, berdoa, deklarasi iman, dsb. Pendeknya kita ada dalam titik iman terendah, terlemah karena merasa Allah sengaja meninggalkan kita. Lalu bagaimana seharusnya respon yang benar supaya kita tetap kuat bertahan dan tidak menjadi tawar hati?

ISI

Mari belajar dari seseorang yang memiliki keintiman dengan Tuhan; yang kesukaannya merenungkan firman serta memuji menyembah DIA, yaitu raja Daud. Alkitab mencatat bahwa raja Daud memiliki kehidupan yang sarat dengan masalah dan pergumulan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan pemerintahannya. Sebagai manusia biasa, ia juga merasa begitu tertekan dalam menghadapi badai persoalan yang datang silih berganti. Namun demikian keintimannya dengan Tuhan membuat dia berani berperkara dengan Allah dengan cara mencurahkan seluruh isi hatinya seperti yang ditulis dalam Mazmur 13.

Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku  terus-menerus ? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku,  dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku? (Mazmur 13:2-3).

Mazmur 13 merupakan doa berupa ungkapan kesesakan hati yang jujur dari raja Daud atas pergumulan hidupnya. Dalam ketidakmengertiannya, Daud merasa Tuhan sengaja menyembunyikan diri justru di saat ia sangat membutuhkan pertolongan-Nya. Belajar dari raja Daud, kita pun bisa mengungkapkan semua pikiran, perasaan/emosi yang bergejolak dan kerinduan hati terdalam dengan jujur kepada Tuhan. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat mengalami tekanan, kita bisa dilanda beragam emosi negatif seperti kecemasan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, frustasi, kelelahan mental, merasa ditinggalkan, hingga perasaan putus asa.

Pengalaman raja Daud ini mengajar bahwa mengungkapkan kesedihan dan frustrasi kepada Tuhan adalah tindakan yang alkitabiah. Reaksi emosional yang kurang sehat dan perlu dihindari adalah tidak berlaku jujur terhadap apa yang dirasakan/menyangkali perasaan kita. Ini menyebabkan perasaan semakin tertekan, dan sebagai pelampiasannya kita akan berusaha mengatasi perasaan yang tertekan itu dengan mencari hal-hal  yang duniawi guna membalut luka hati, menutupi rasa bersalah, atau untuk mengisi kekosongan jiwa dan perasaan kesepian.

Pertanyaan Diskusi :

Pernahkah Anda merasa sepertinya Tuhan jauh atau melupakan kita? Mengapa penting membawa emosi kita kepada-Nya?

Manfaat dari mengakui/ mengungkapkan semua pikiran, perasaan dan isi hati yang terdalam kepada Tuhan :

  • beban emosional kita terlepas,
  • pikiran yang gelap diterangi oleh firman Tuhan sehingga kita jadi memahami diri sendiri, keadaan yang terjadi, dan orang lain,
  • kita bisa melihat kasih setia Tuhan yang jauh melebihi pergumulan kita, serta mengerti kehendak-Nya melalui semua yang terjadi – mengerti bahwa justru dalam kelemahan kita, kasih karunia Allah menjadi sempurna.
  • cara pandang kita diubah menjadi cara pandang Tuhan dalam melihat segala sesuatu,
  • terjadi transformasi hati karena mengalami pemulihan,
  • iman percaya kita dibangun dan didewasakan, karakter kita diubahkan semakin menyerupai Kristus.

Proyek ketaatan :

Tulislah journal/surat doa pribadi kepada Tuhan yang mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya. Jujurlah seperti Daud di kitab Mazmur 13.

Sebelum raja Daud percaya kepada firman/janji Allah, ia terlebih dulu mengenal sifat karakter Allah yang baik dan berlimpah kasih setia. Demikian pula kita, mari belajar mengenal karakter Tuhan agar dapat memercayai janji firman-Nya. Memilih untuk tetap percaya saat Tuhan seolah diam/tidak menolong dan meninggalkan kita.

Orang benar harus hidup karena percaya, bukan karena melihat (2 Kor. 5:7); bukan pula dipimpin oleh pikiran dan perasaan. Pikiran dan logika menuntut bukti yang terlihat, perasaan menuntut untuk dipuaskan. Kita punya kecenderungan ingin memahami segalanya atau melihat bukti terlebih dahulu baru percaya; tetapi Tuhan mau supaya kita untuk percaya lebih dulu, mengalami, baru mengerti. Iman yang sejati berjalan dalam kepercayaan, bukan dalam bukti atau pemahaman yang sempurna. “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” (Amsal 3:5-6)

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9). Ayat ini mengajar kita bahwa  pikiran Tuhan jauh lebih tinggi dari pikiran kita. Percaya berarti tunduk kepada kebijaksanaan ilahi yang melebihi logika manusia.

PENUTUP

Saat berada dalam pergumulan dengan titik iman terendah dan emosi yang bergejolak, respon yang paling bijak adalah mengungkapkan seluruh pikiran, perasaan dan kerinduan hati yang terdalam di hadapan Tuhan dengan jujur. Menyangkali perasaan justru membuat kita semakin tertekan dan berusaha mencari pelampiasan dengan hal/cara yang keliru. Dengan berlaku jujur, Tuhan akan memulihkan hati dan jiwa kita. Sekalipun masih berada di tengah pergumulan, tapi hati dan jiwa yang dipulihkan menjadikan kita kuat bertahan sebab hidup karena percaya akan janji Tuhan, bukan karena melihat.

Baca janji Tuhan dalam Ulangan 31:6, Yosua 1:5 dan Ibrani 13:5.