IMAMAT YANG RAJANI

Home / Weekly Message / IMAMAT YANG RAJANI
IMAMAT YANG RAJANI

PARADIGMA BARU DALAM PELAYANAN MUSIK, PUJIAN DAN PENYEMBAHAN (Team Mezbah)
Bapak Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo sebagai pioneer hamba Tuhan yang melayani sepenuh waktu dalam bidang pujian dan penyembahan, memperkenalkan istilah imam musik, imam pemuji penyembah.
Penggunaan kata “imam” tentu merujuk kepada pemahaman bahwa mereka yang disebut sebagai imam musik atau imam pemuji dan penyembah adalah pribadi-pribadi yang hidupnya dikhususkan untuk memimpin pujian dan penyembahan dalam pelaksanaan ibadah umat.
Dalam jemaat dan pengerja kita, banyak yang memiliki potensi dan karunia bermain alat musik atau bernyanyi bahkan bersuara merdu, namun dalam pelaksanaan ibadah, tidak semua umat tersebut diberikan kewenangan, otoritas dan tanggung jawab untuk memimpin atau melaksanakan pelayanan pujian dan penyembahan. Hanya mereka yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemimpin gereja sebagai imam musik, pemuji dan penyembah yang diberikan kewenangan tersebut sesuai jadwal yang sudah diatur. Sampai pada tahap ini, implikasi ‘pengkhususan’ dari istilah imam tentu tidak menimbulkan diskusi dan perbedaan pemahaman.
Namun, ketika implikasi ‘pengkhususan’ dari istilah imam ini ditarik lebih jauh, di mana mereka yang disebut sebagai imam musik, pemuji dan penyembah sungguh-sungguh hanya ‘diperbolehkan’ menggunakan talenta, kemampuan bermusik atau bernyanyi mereka dalam ranah rohani (pelayanan gereja) semata dan tidak boleh dikhamiri dengan menggunakannya di ranah sekuler, maka bisa timbul persoalan!
Secara khusus di antara mereka yang bukan fulltimers gereja (tidak mendapatkan penghasilan/gaji dari gereja) dan memiliki profesi di bidang musik atau dunia tarik suara, termasuk mereka yang karena bakat dan talentanya secara serius menekuni industri musik atau dunia pendidikan musik sekuler.
Hal ini menimbulkan sebuah dilema di mana pada akhirnya tidak sedikit mereka yang memiliki talenta dalam bidang musik/vokal, memiliki kerinduan untuk terlibat dalam pelayanan gereja; akhirnya tidak jadi melayani karena mereka tidak mungkin meninggalkan profesi mereka dalam industri musik sekuler.
Bagaimana gereja dapat menyikapi dilema ini? Memasuki Tahun Paradigma yang Baru, TUHAN memberikan paradigma yang baru dalam berbagai sektor pelayanan gereja, termasuk dalam hal pelayanan musik, pujian dan penyembahan. Mari kita simak dua bagian teks dalam Alkitab berikut ini:
1. Pengunaan Istilah PELAYAN
“Juga diangkatnya dari orang Lewi itu beberapa orang sebagai pelayan di hadapan tabut TUHAN untuk memasyhurkan TUHAN, Allah Israel dan menyanyikan syukur dan puji-pujian bagi-Nya.”1 Tawarikh 16:4
Apa yang menarik dalam ayat ini ada istilah yang digunakan kepada orang Lewi yang menyanyikan syukur dan puji-pujian bagi-Nya di hadapan tabut adalah PELAYAN, bukan imam. Kata ‘pelayan’ (ing. Ministers) dari kata shârath yang secara akar katanya berarti “untuk hadir sebagai”, “berkontribusi kepada”, “melayani” dan “melakukan pelayanan”.
Dalam The NIV Application Commentary, Historical Book kata “pelayan” (šrt) berarti “pelayanan yang saleh” atau “kehadiran yang setia pada ritual.” Pelayanan imam dan Lewi yang berpusat di Gibeon tetap menjadi salah satu pemeliharaan ibadah kurban Israel. Pelayanan Lewi di depan Tabut di Yerusalem pada dasarnya bersifat musikal.
Pengunaan istilah pelayan bagi mereka yang melakukan pelayanan di bidang pujian dan penyembahan memiliki beberapa implikasi positif, antara lain:
a. Menempatkan pelayanan di bidang pujian dan penyembahan setara dengan bidang pelayanan lainnya dalam gereja, misalnya doa syafaat, pemberitaan firman, usher, dan lainnya. Setara dalam pengertian tidak lebih tinggi kedudukannya (prestisius) dan juga tidak lebih rendah.
b. Membuka kesempatan kepada anggota jemaat yang memiliki talenta dan keterampilan bermusik dari latar belakang profesi untuk “melakukan pelayanan”, “berkontribusi kepada”, “melayani sebagai” pelayan di bidang pujian dan penyembahan.
c. Meredam tensi tuntutan yang tinggi sehubungan dengan pelayanan di bidang pujian dan penyembahan.
Tentunya kita tidak boleh menurunkan standar kekudusan dan standar kualitas pujian dan penyembahan dalam ibadah, kita juga tidak boleh menjadikan pujian dan penyembahan dalam ibadah menjadi entertainment, dan bahwasanya seorang pelayan pujian dan penyembahan harus memenuhi kriteria tertentu, dapat dipertahankan.
Hanya saja, tuntutan untuk tidak bermain musik dalam dunia sekuler, padahal sudah sesuai dengan profesi dan pendidikan akademiknya; sudah tidak dapat diterapkan. Musik adalah bahasa yang universal, secara naturnya musik bersifat netral, tidak perlu melakukan dikotomi (pemisahan, pembagian dua hal yang saling bertentangan) antara musik rohani dengan musik sekuler. Keputusan seorang pelayan musik untuk mendedikasikan seluruh talenta dan karunia bermusiknya hanya bagi Tuhan biarkanlah menjadi ranah privat, keputusan pribadinya dengan Tuhan. Sehingga kita juga tidak terjebak dalam ‘banding-membandingkan’ antara pelayan pujian dan penyembahan yang satu dengan yang lainnya.
2. Imamat yang Rajani
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:”1 Petrus 2:9
Apa yang dinyatakan Petrus dalam surat kirimannya yang diinspirasikan Roh Kudus ini memberikan kepada pendengar mula-mula, orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya (1 Petrus 1:1-2) sebuah paradigma tentang status orang percaya dalam Kristus dan dalam pelayanan.
Semua orang Kristen sejati (bukan hanya yang berlatar belakang Yahudi) adalah generasi terpilih; mereka semua membentuk satu keluarga rohani dari berbagai jenis dan kelompok orang yang berbeda dari seluruh dunia secara global.
Matthew Henry memberikan catatan bahwa kita semua adalah imamat yang rajani. Kita adalah raja dalam hubungan kita dengan Tuhan dan Kristus, kita adalah imamat rajani, terpisah dari dosa dan orang berdosa, dikuduskan kepada Allah, dan mempersembahkan kepada Allah pelayanan dan persembahan rohani, yang diterima Allah melalui Yesus Kristus.
Dengan bahasa yang sederhana, semua orang yang telah ditebus dengan Darah Yesus berhak dan memiliki kewajiban untuk mempersembahkan pelayanan dan persembahan rohani kepada Allah. Pelayanan kepada Allah tidak lagi dibatasi dengan aturan keimamatan atau pengkhususan kepada kelompok tertentu. Di mana pun anak Tuhan berkarya, ia harus memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia.
Pelayanan di bidang pujian dan penyembahan dalam gereja biar bagaimana pun adalah salah satu bentuk pelayanan inti (core) karena terkait dengan penyelenggaraan ibadah, di mana umat mengalami perjumpaan secara pribadi dengan TUHAN dan di sana mereka menyadari akan realitas spiritualitas mereka sebagai umat TUHAN.
Itu sebabnya sama seperti halnya juga bidang pelayanan lainnya, tentu kita tidak boleh sembarangan dalam mengatur dan menjadwalkan personil pelayan yang akan melayani musik, pujian dan penyembahan dalam ibadah. Segala sesuatunya tetap harus diperhatikan dengan teliti dan seksama. Para pelayan musik, pujian dan penyembahan umumnya melewati tahapan seleksi, audisi, pelatihan, dan praktik pelayanan sebelum akhirnya diberikan otoritas dan tanggung jawab pelayanan mimbar sambil terus dimuridkan sehingga makin berkualitas bukan hanya dari sisi keterampilan bermusik semata namun juga kerohanian dan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Firman Tuhan. Proses yang harus dilalui memang ketat, namun pintu kesempatan untuk terlibat menjadi pelayan musik, pujian dan penyembahan haruslah tetap terbuka bagi seluruh umat yang adalah Imamat yang Rajani.

image source: https://www.activelovechurch.com/1-peter-29/