Devotional Blog

Home / Archive by category "Devotional Blog" (Page 2)
MENGERJAKAN PANGGILAN: Kasih dan Pelayanan

MENGERJAKAN PANGGILAN: Kasih dan Pelayanan

“tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Efesus 4:15

Kalau hati kita sudah beres kita pasti akan mengerjakan segala sesuatu dengan motivasi yang benar dan tanpa ada keterpaksaan. Hati yang beres adalah hati yang sudah dijamah oleh Roh Kudus.

Jika Roh Kudus sudah menjamah hatimu, “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.” (Yehezkiel 36:26-27). Sebelum dijamah Roh Kudus hatimu tentu dipenuhi keinginan dan ambisi pribadi, semua terfokus pada diri sendiri. Setelah mengalami jamahan-Nya hatimu dipenuhi belas kasihan dan empati, dan sesuai perintah Tuhan, “Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Efesus 4:2b), serta “…marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3:18).

Ketika kita menyadari akan panggilan Tuhan kita pasti akan bersemangat dan sangat antusias untuk mengerjakan perkara-perkara rohani. “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11). Karena sadar bahwa kita ada sebagaimana kita ada sekarang ini semata-mata karena anugerah dan campur tangan Tuhan, maka kita pun tidak serta-merta hanya puas menerima anugerah Tuhan, melainkan kita rindu untuk melangkah ke tingkat kehidupan yang dikehendaki Tuhan yaitu hidup dan menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain, karena itu kita berkomitmen untuk mempersembahkan hidup kita untuk melayani Tuhan. “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,” (Efesus 4:11-12).

Tindakan kasih dan memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan adalah bukti nyata seseorang mengerjakan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Baca: Efesus 4:1-16

MENGERJAKAN PANGGILAN: Menjaga Sikap Hati

MENGERJAKAN PANGGILAN: Menjaga Sikap Hati

“Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.” Efesus 4:1

Tuhan memanggil kita untuk menjadi berbeda dari dunia ini, sebab “…kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” (1 Petrus 2:9). Apakah kita memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan ini?

Setelah kita dipanggil, keberadaan kita bukan lagi seperti orang biasa lagi melainkan menjadi orang-orang pilihan Tuhan. Karena kita adalah orang-orang pilihan, secara otomatis kita memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar yaitu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Tuhan, yaitu menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini; dan mengerjakan panggilan Tuhan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar berteori atau berkata-kata muluk seperti biasa dilakukan orang-orang yang sedang berkampanye. Itulah yang disampaikan Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus ini. Bukti kalau seseorang memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan adalah “…rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” (Efesus 4:2a). Tanpa sikap hati yang benar sulit hidup berpadanan dengan panggilan Tuhan. Semua itu dimulai dari hati. Mengapa? “Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu.” (Amsal 27:19), sebab “…apa yang keluar dari mulut berasal dari hati…Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,” (Matius 15:18-19). Maka dari itu “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Jadi, dalam mengerjalan panggilan Tuhan penting sekali kita menjaga hati kita agar tetap “humble”, lemah lembut dan sabar, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7b). Apabila hati kita sudah teruji, kita akan mengerjakan panggilan Tuhan itu tanpa persungutan, keluh kesah, tidak mudah kecewa dan tetap kuat meski berada di situasi-situasi sulit. Jaga sikap hati dalam mengerjakan panggilan Tuhan!

Baca: Efesus 4:1-16

Latest posts:

FOKUS MENGERJAKAN PANGGILAN

FOKUS MENGERJAKAN PANGGILAN

“Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.” 2 Petrus 1:10

Dalam perlombaan iman, ada banyak sekali tantangan yang siap menghadang, menghalangi, melemahkan serta menghentikan langkah kita. Rasul Petrus pun turut mengingatkan agar kita berusaha dengan sungguh supaya panggilan kita makin teguh. Supaya makin teguh perlu sebuah perjuangan. Mengapa kita harus berjuang? Karena ada musuh yang selalu mengintai dan siap menghancurkan jika kita lengah.

Iblis adalah musuh utama orang percaya. Iblis tahu benar bahwa di dalam diri orang percaya ada kuasa Roh Kudus, “…lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.” (1 Yohanes 4:4). Hal itu mendorongnya untuk mencari celah sekecil apapun kelemahan kita. Karena itu di segala keadaan kita harus tetap berjuang dan senantiasa berjaga-jaga agar tidak lengah. “…aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya,” (1 Korintus 9:27). Musuh terbesar lainnya adalah kedagingan kita sendiri. “roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41). Daging tak pernah berhenti menguji kita, bahkan terus berusaha mengikat kita supaya kita takluk kepadanya dan menuruti segala keinginannya. Bukankah ada banyak orang Kristen, baik itu jemaat awam dan tak terkecuali mereka yang sudah terlibat dalam pelayanan, tetap saja memiliki cara hidup yang sangat duniawi sebagai bukti ketidakmampuan mereka menaklukkan keinginan daging.

Adalah sangat mudah bagi Tuhan untuk menyingkirkan semua tantangan yang ada, tapi justru Tuhan hendak memakai tantangan sebagai alat penguji ketekunan kita agar kita mau berjuang. Berjuang bukan dengan kekuatan sendiri melainkan di dalam penyertaan Roh Kudus. Anugerah kemenangan dan keberhasilan sudah dirancangkan Tuhan bagi kita, adapun bagian kita adalah berjuang melawan tipu muslihat Iblis dan kedagingan kita.

Kerelaan kita untuk dibentuk Tuhan melalui tantangan yang ada dan semakin memperteguh panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Baca: 2 Petrus 1:3-15

Latest posts:

DALAM PERLOMBAAN IMAN

DALAM PERLOMBAAN IMAN

“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” 1 Korintus 9:24

Rasul Paulus mengumpamakan perjalanan kehidupan rohani orang percaya itu seperti olahragawan (pelari dan petinju) yang sedang bertanding di arena pertandingan. Apa maksudnya? Melalui perumpamaan ini Paulus hendak mengingatkan dan mendorong semua orang percaya agar mau berjuang sedemikian rupa dalam perlombaan iman demi meraih tujuan akhir yaitu mendapatkan mahkota kehidupan, sebagaimana seorang olahragawan yang tampil habis-habisan demi mewujudkan keinginannya menjadi juara dalam setiap pertandingan yang diikutinya.

Tidak pernah ada di kamus mana pun yang menyatakan bahwa seorang olahragawan yang tidak pernah berlatih keras, tidak punya kedisiplinan dan gampang putus asa akan merasakan indahnya berada di atas podium juara. Pula, tak seorang pun olahragawan yang berkeinginan menjadi pecundang, semuanya pasti ingin meraih prestasi setinggi langit dan menjadi yang terbaik! Yang harus selalu kita ingat adalah bahwa dalam setiap pertandingan olahraga (cabang apa pun) hanya akan menghasilkan satu orang pemenang saja, dialah yang berhak atas mahkota juara atau medali emas. Meski mahkota yang diperolehnya hanya bersifat fana, semua olahragawan bertanding dengan semangat tinggi dan antusias, bahkan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Terlebih-lebih dalam hal pertandingan iman, di mana pemenanganya akan mendapatkan mahkota yang abadi yaitu kehidupan kekal, maka sudah selayaknya kita berjuang lebih keras lagi. Karena itu “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Roma 12:11), sebab tidak ada kemajuan atau kedewasaan rohani terjadi secara instan atau datang tiba-tiba seperti durian runtuh dari langit. Kesemuanya harus melalui proses panjang: ada latihan keras, ada disiplin diri dan pantang menyerah. Inilah harga yang harus kita bayar!

“Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.” Wahyu 2:10b

Baca: 1 Korintus 9:24-27

Latest posts:

KEPUTUSAN MUSA: Menolak Kesenangan Dunia

KEPUTUSAN MUSA: Menolak Kesenangan Dunia

“karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa.” Ibrani 11:25

Orang-orang dunia acap kali menilai ‘harga’ seseorang dari harta, gelar, popularitas, pangkat atau kedudukan. Wajarlah jika kita menilai bahwa tindakan Musa melepas kehormatan di Mesir adalah tindakan bodoh? Benarkah? Secara duniawi, ya…tapi dari sudut pandang rohani justru Musa telah mengorbankan perkara-perkara duniawi (fana) demi mendapatkan berkat yang sifatnya kekal.

Keputusan Musa ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paulus, yang rela melepaskan semuanya demi Kristus, “…yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” (Filipi 3:7-8).

Adalah mudah bagi seseorang yang tidak memiliki harta atau segala sesuatu yang berharga di dunia ini untuk membuat keputusan mengikut Tuhan dan mengerjakan panggilan-Nya. Sebaliknya teramat sulit bagi orang seperti Musa yang memiliki segala-galanya, apalagi dalam usia 40 tahun tentunya sudah banyak menikmati kenyamanan. Demi merespons panggilan Tuhan Musa memutuskan meninggalkan segala kesenangan duniawi. “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.” (1 Yohanes 2:15-16).

Dari semula kesenangan duniawi memikat hati dan menyilaukan mata manusia. Karena itu banyak orang memilih bersahabat dengan dunia ini dan menjadi musuh Allah. Mereka lupa bahwa dampak dosa sangat mengerikan, “Sebab upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23). Kehidupan orang fasik itu akan berujung kepada maut, tapi “…orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:17).

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

“Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.” Ibrani 11:27

Setiap saat dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada banyak hal di mana kita harus membuat pilihan atau keputusan: mulai dari keputusan-keputusan kecil yang tampaknya sepele, sampai kepada keputusan-keputusan besar yang sifatnya sangat penting yang berdampak besar dalam kehidupan kita di kemudian hari. Semisal saat dihadapkan pada kesempatan, entah kesempatan berdoa, membaca Alkitab atau melayani Tuhan, akankah kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin, ataukah kita membuang kesempatan tersebut? Kita lebih memilih nonton televisi daripada berdoa dan baca Alkitab; kita lebih suka hang out dan menyalurkan hobi daripada mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terlibat pelayanan di gereja. Semua sangat bergantung pada keputusan kita. “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.” (Amsal 23:7a).

Mari belajar dari kehidupan Musa. Kita tahu sejarah Musa hingga ia bisa sampai ke Mesir. “Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,” (Keluaran 2:10). Alkitab pun mencatat, “Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” (Kisah 7:22). Selama 40 tahun Musa hidup di istana Mesir, suatu negeri yang kaya dan maju. Karena itu tidaklah mengherankan bila Musa mendapatkan pendidikan tinggi dan juga keahlian. Musa benar-benar menjadi orang yang sangat beruntung. Namun kesemuanya itu tidak membuatnya lupa terhadap bangsa Israel, justru panggilan Tuhan terhadap dirinya terus berkobar-kobar.

Usia 40 tahun menjadi titik balik dalam hidup Musa di mana ia membuat sebuah keputusan yang sangat penting yang sangat menentukan masa depannya dan juga bangsanya. “Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,” (Ibrani 11:24). Menolak disebut anak puteri Firaun berarti Musa harus siap menanggung resiko yaitu kehilangan harta, kehormatan dan kedudukan. Secara manusia keputusan yang diambil Musa dengan mengorbankan semuanya adalah sebuah kerugian besar.

Musa rela melepas kehormatan, kekuasaan dan statusnya sebagi anak puteri Firaun demi merespons panggilan Tuhan!

Baca: Ibrani 11:23-29

Latest posts:

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

“Aku berseru dengan segenap hati; jawablah aku, ya TUHAN! Ketetapan-ketetapan-Mu hendak kupegang.” Mazmur 119:145

Setelah tahu bahwa Tuhan Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, melainkan menjadikan kita sahabat-Nya, maka kita pun harus berusaha supaya kita benar-benar layak disebut sebagai sahabat Tuhan. Langkah awal adalah membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan. Dapatkah kita dikatakan bersahabat dengan seseorang bila kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama orang tersebut? Untuk menjadi sahabat Tuhan Yesus kita pun harus memiliki banyak waktu bersama-Nya. Tekun dalam doa adalah cara untuk kita karib dengan Tuhan dan mengenal pribadi-Nya. Jika kita bersekutu dengan Tuhan hanya sekali dalam seminggu saat ibadah saja, inikah yang disebut karib?

Persahabatan dengan Tuhan harus dibangun setiap waktu. Belajarlah seperti Daniel: “Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.” (Daniel 6:11b).

Berdoa yang dimaksudkan bukan sekedar berdoa saat makan, setelah bangun tidur dan saat mau tidur, tapi kita menyediakan waktu secara khusus dan konsisten untuk Tuhan: bercakap-cakap dengan Dia, mencurahkan isi hati kita, memuji, menyembah dan juga mendengar suaraNya. Sebagai sahabat, Tuhan rindu kita senantiasa melibatkan Dia di segala aspek kehidupan kita, karena itu Ia pun menghendaki kita berdoa dengan tiada berkeputusan dan tidak jemu-jemu. Jadi, “Tetaplah berdoa.” (1 Tesalonika 5:17), artinya tiada waktu yang terlewatkan tanpa kita berkomunikasi dengan Tuhan. Selanjutnya adalah merenungkan firman Tuhan siang dan malam. Mustahil seseorang menjadi sahabat Tuhan tanpa mengetahui kehendak dan rencana-Nya yang tertulis dalam Alkitab.

Mari kita belajar dan meneladani hidup Daud yang sangat menghormati  dan menghargai firman Tuhan sehingga ia berkata, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Peringatan-peringatan-Mu ajaib, itulah sebabnya jiwaku memegangnya.”  (Mazmur 119:97, 129).

Baca: Mazmur 119:145-152

Latest posts:

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (2)

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (2)

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Yohanes 15:13

Amsal 17:17: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Yesus telah membuktikan kasih-Nya yang besar bagi kita melalui kematian-Nya di kayu salib. Dia rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa-dosa kita. Kalau nyawa-Nya saja rela. Dia serahkan, kita pun percaya apapun yang kita butuhkan dan perlukan pasti Tuhan sediakan bagi kita. “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:19).

Karena Yesus telah menunjukkan kasih-Nya sedemikian rupa, kita pun harus mengasihi Dia dengan sepenuh hati. Apabila kita mengasihi Tuhan selayaknya kasih seorang sahabat, maka kita akan berusaha untuk menjaga perasaan sahabat kita, serta berpikir seribu kali bila hendak menyakiti atau melukai perasaan-Nya. Namun justru kita sering menyakiti hati Tuhan dan mengecewakan Dia melalui tindakan dan perbuatan kita. Jangankan taat melakukan perintah-Nya, menyediakan waktu untuk bersekutu dan mendekat kepada-Nya saja jarang sekali kita lakukan. Kita berkutat dengan kesibukan diri sendiri dan mengabaikan kehadiran-Nya. Jika demikian layakkah kita disebut sahabat Tuhan? Padahal Tuhan sudah mengulurkan tangan-Nya untuk menjalin persahabatan dengan kita. Yakobus menasihati, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu.” (Yakobus 4:8a).

Tuhan Yesus adalah sahabat sejati orang percaya. Sahabat yang sejati rela berkorban, dan Yesus sudah membuktikannya dengan memberikan nyawa-Nya untuk kita. Bukan hanya itu, Dia juga berjanji tidak akan meninggalkan kita dan akan terus menyertai kita sampai kesudahan zaman. Bahkan, di setiap perjalanan hidup yang kita tempuh Tuhan berjanji, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” (Yesaya 46:4).

Tuhan Yesus adalah sahabat sejati kita: Dia rela mati untuk kita, menyertai, mengasihi dan menyediakan pertolongan tepat pada waktuNya!

Baca: Yohanes 15:9-17

 

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (1)

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (1)

“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Yohanes 15:15

Suatu anugerah luar biasa yang diperoleh setiap orang percaya karena Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, tapi “…menyebut kamu sahabat,” (ayat nas). Sahabat bukanlah sekedar hubungan biasa, melainkan terjalin sangat intim (karib) serta dilandasi oleh sebuah kepercayaan. Untuk menjadi orang yang bisa dipercaya oleh orang lain bukanlah hal yang mudah, terlebih-lebih yang memberi kepercayaan itu adalah Tuhan.

Bukti kepercayaan Tuhan adalah diberitahukan-Nya segala sesuatu yang didengar-Nya dari Bapa. Pemazmur juga menegaskan, “TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.” (Mazmur 25:14). Secara manusia sulit untuk dipahami bahwa Tuhan mau dan menginginkan kita menjadi sahabat-Nya. Namun hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sangat menginginkan kita makin mengenal-Nya lebih dekat. Inilah hak istimewa dan terbesar bagi setiap orang percaya: dikenal, dikasihi dan dijadikan sahabat oleh Tuhan. Memiliki seorang sahabat berarti kita dapat berjalan seiring sejalan, saling menguatkan dan saling berbagi kasih yang tulus; dan hanya sahabat sejatilah yang mau tetap ada untuk kita di segala keadaan. Alangkah indahnya saat kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus sudah menyatakan diriNya sendiri sebagai sahabat sejati bagi orang percaya. Artinya segala hal yang baik dan istimewa yang tidak bisa kita dapatkan dari seorang sahabat di dunia ini bisa kita dapatkan jauh lebih dari apapun melalui kasih yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus.

Bagaimana kita bisa layak disebut sebagai sahabat Tuhan Yesus? KataNya, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” (Yohanes 15:14). Melakukan perintah Tuhan adalah syarat utama untuk beroleh kepercayaan sebagai sahabat Tuhan
Yesus. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yohanes 15:!2).

Apabila kita taat melakukan apa yang diperintahkan Tuhan yaitu saling mengasihi, maka kita memperoleh hak yang sangat istimewa yaitu menjadi sahabat Tuhan Yesus.

Baca: Yohanes 15:9-17

Latest posts:

PERSAHABATAN DENGAN ALLAH

PERSAHABATAN DENGAN ALLAH

“Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” 1 Yohanes 4:10

Mungkin saat ini Saudara merasa sendiri karena tidak ada orang lain yang mempedulikan dan memperhatikan. Saat berada di situasi sulit justru teman-teman dekat mundur teratur dan beranjak menjauh. Hari-hari Saudara pun terasa hampa dan sepi. Jangan terus larut dalam kepedihan dan merasa sendiri. Tidak! Kita tidak pernah sendiri, ada Yesus yang akan selalu menyertai, menemani dan memeluk kita. “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5b).

Mari kita flashback sejenak. Di awal penciptaan manusia kita melihat suatu hubungan yang sangat karib terjalin antara Allah dengan manusia di taman Eden. Adam dan Hawa menikmati persahabatan begitu mesra dengan Allah. Tidak ada ritual agama, tidak ada upacara, yang ada hanyalah hubungan kasih yang begitu intim antara Allah dengan manusia yang diciptakan-Nya. Tidak ada jarak antara Allah dan manusia! Tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, hubungan yang karib itu lenyap dan terputus. “…yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” (Yesaya 59:2). Namun Yesus mengubah segala sesuatunya ketika Dia membayar dosa-dosa kita di Kalvari. “…tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah,” (Matius 27:51).

Tabir Bait Suci yang melambangkan pemisahan dari Allah telah robek dari atas ke bawah, artinya jalan masuk kepada Allah kembali tersedia. Kini setiap orang percaya bisa mendekati Allah dengan penuh keberanian. “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” (Efesus 3:12). Persahabatan dengan Allah dimungkinkan hanya karena kasih karunia yang dinyatakan melalui Yesus Kristus. “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya…” (2 Korintus 5:18).

Inisiatif pemulihan hubungan itu datangnya dari Allah sendiri melalui pengorbanan Yesus, yang oleh-Nya kita beroleh persekutuan karib seperti sediakala.

Baca: 1 Yohanes 4:7-21