2 April 2017
“Sebab dunia orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau; orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti akan kesetiaan-Mu. Tetapi hanyalah orang yang hidup, dialah yang mengucap syukur kepada-Mu, seperti aku pada hari ini; seorang bapa memberitahukan kesetiaan-Mu kepada anak-anaknya”. (Yesaya 38:18-19)
Dalam Yesaya 38 di atas, dikatakan bahwa dunia orang mati tidak dapat memuji Allah yang hidup. Itu bukan dikatakan untuk orang yang mati secara fisik tetapi secara rohani. Karena Allah adalah Roh dan barangsiapa menyembah Dia harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Tentu saja hal ini berbicara tentang seseorang yang keadaan rohnya hidup yaitu jika roh orang tersebut terhubung dengan Allah melalui pimpinan Roh Kudus-Nya. Hanya orang yang dipimpin oleh Roh Allah yang disebut anak Allah (Roma 8:14).
“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” (Wahyu 3:1).
Dalam pandangan Tuhan, jemaat di Sardis telah mati secara rohani. Sejarah mencatat bahwa kehidupan jemaat Tuhan di Sardis adalah tanpa kesulitan, tanpa tantangan iman dan tidak ada penganiayaan karena mereka hidup dalam kenyamanan dan serba kecukupan bahkan kemewahan karena daerah itu adalah kota perdagangan yang besar. Secara lahiriah, tampaknya mereka hidup (eksis), aktif serta memiliki pencapaian dan keberhasilan dalam pelayanan yang terkenal baik bahkan mungkin bisa memberkati. Bisa jadi mereka memiliki bentuk penyembahan yang menarik, tetapi bukan karena kuasa Roh Kudus dan kemurnian dari penyembahan mereka. Tuhan Yesus melihat sesuatu yang sangat dalam yaitu keadaan batin dan hati jemaat di Sardis yang ternyata tidak ada kehidupan di dalamnya. Jemaat Tuhan di Sardis telah mati secara rohani tidak akan dapat menyembah Allah yang hidup karena Allah yang hidup tidak bersemayam di antara orang mati. “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati ?” (Lukas 24:5b).
Alkitab mencatat berbagai keadaan yang disebut sebagai dunia orang mati.
1. Orang yang percaya akan harta bendanya, dan memegahkan diri dengan banyaknya kekayaan mereka (Mazmur 49:6).
2. Orang yang percaya kepada dirinya sendiri dan gemar akan perkataannya sendiri (Mazmur 49:13). Orang seperti ini menolak, meremehkan serta tidak mengasihi firman kebenaran.
3. Orang fasik / jahat (Mazmur 55:15), adalah orang yang tahu firman namun tidak melakukannya (munafik) – ciri- cirinya: memiliki roh keagamawian yang munafik (legalism dan tidak mau mengenal Pribadi Allah), keji, membenarkan diri. serakah, gemar mencari kesalahan orang lain, lebih mementingkan adat istiadat dan peraturan duniawi dari pada Firman Tuhan, secara lahiriah beribadah tetapi memungkiri kekuatannya, mencari kesucian hanya secara lahiriah saja. Mengajarkan Firman tetapi tidak melakukan. memuliakan Allah dengan bibir saja tapi hatinya jauh, gila hormat, membujuk orang untuk berdosa, murtad, berdusta, pencemooh, tidak ada penguasaan diri, dsb.
4. Perzinahan secara rohani dan fisik (Amsal 5:3-6; Amsal 7:10, 27). Orang yang berzinah secara rohani adalah orang yang jauh dan meninggalkan Tuhan.
5. Orang yang hidup dalam kebodohan, tidak berakal budi, tidak mempunyai hikmat dan pengertian (Amsal 9:18; Amsal 15:24 ). Orang yang mempunyai hikmat adalah orang yang takut akan Tuhan dan orang yang memiliki pengertian hati adalah orang yang mengenal Yang Mahakudus.
6. Orang yang menyembah berhala (Yesaya 57:9). Sikap pemberontak dan durhaka juga adalah sama seperti dosa bertenung; kedegilan atau kekerasan hati adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim (1 Samuel 15:23).
7. Kesombongan (Yehezkiel 31:10,14 dan 15). Bentuk kesombongan ini adalah banyak misalnya mengasihani diri sendiri (self pity), segala bentuk kepahitan, tidak mengampuni, perasaan rendah diri, merasa lebih berkarunia, merasa lebih dipakai oleh Allah, tidak suka dikonfrontasi dengan kebenaran, tidak suka menerima kritik yang membangun, tidak mau belajar, tidak mau bekerjasama dengan orang lain yang kemampuannya kurang dari dirinya, dsb. Allah sangat menentang orang yang congkak, orang yang meninggikan diri akan direndahkan ke dalam bumi yang paling bawah, ke dalam dunia orang mati.
Dunia orang mati dan dunia orang hidup memiliki dua keadaan habitat yang berbeda dan sangat bertolak belakang. Orang yang hidup tidak akan dapat tinggal dan bertahan di habitat dunia orang mati dan begitu pula sebaliknya. Jalan hidup orang yang berakal budi (orang yang hidup, yang mengenal Tuhan) akan menuju ke atas karena ia menjauhi dunia orang mati di bawah. Orang yang hidup akan memilih untuk memikirkan perkara-perkara yang di atas yaitu perkara-perkara yang berlaku dalam Kerajaan Sorga. Sebaliknya orang yang mati akan memilih memikirkan perkara-perkara duniawi dan kedagingan yang tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Korintus 6:9-10).
Pelajaran dari Mazmur 1: Orang yang hidup atau orang benar pasti tidak akan berjalan menurut nasihat orang fasik, tidak akan memilih berdiri di jalan orang berdosa dan tidak suka duduk dalam kumpulan pencemooh – tapi dia akan mencari habitat yang tepat yaitu suka akan Taurat Tuhan dan merenungkannya siang dan malam, maka apa saja yang dikerjakannya akan dibuat Tuhan berhasil dan beruntung.
Orang yang mati atau orang fasik tidak akan tahan dalam habitat orang yang hidup, tidak akan tahan dalam penghakiman dan dalam perkumpulan orang benar. Terang tidak dapat bersatu dengan gelap.
Jangan pilih habitat kematian, hindarilah dunia orang mati. Bangkitlah, bertobatlah dan berjada-jaga.
“kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu..” (Ulangan 30:19b).
HIDUP TAAT MENDATANGKAN SUKACITA
Tidaklah mengherankan apabila budaya populer hari-hari ini membombardir pikiran banyak orang untuk anti terhadap segala bentuk norma dan ketaatan yang dipandang sebagai “penghambat potensi pribadi”. Sehingga ketaatan selalu dilakukan dengan terpaksa, semata-mata hanya karena sebuah keharusan. Demikian pula halnya dalam kehidupan persekutuan umat Tuhan di gereja, tawaran “menjadi diri sendiri” (be your self) seringkali lebih menarik dibandingkan dengan “taat dan tunduk” kepada pihak lain, termasuk kepada otoritas rohani.
Sesungguhnya pencarian akan self fulfilment adalah sebuah ilusi, karena pada dasarnya kita tidak bisa hidup tanpa berada dalam suatu aturan dan tatanan. Sebagai contoh; walaupun orang ingin merdeka tetapi kita tetap akan terikat oleh salah satu hukum, misalnya hukum alam.
Contoh: Kita akan merasa tidak nyaman berkendara di jalan raya tanpa menaati rambu-rambu lalu lintas. “Tidak ada kemerdekaan tanpa keterikatan.”
Apa yang Firman Tuhan katakan tentang ketaatan kepada otoritas rohani?
1. Keteladanan Tuhan Yesus
“Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,” Ibrani 5:8. Yesus adalah teladan kita dalam hal ketaatan kepada otoritas rohani. Di dalam hidup yang tanpa dosa, Dia menjalani proses “belajar” untuk taat kepada Bapa di sorga (Mar 14:36; Luk 22:42).
Sikap belajar untuk taat ini adalah cerminan sifat manusiawi dari Yesus, yang berarti sikap ini dapat dan harus kita teladani. Jika Yesus sebagai manusia bertambah dewasa lewat ketaatan, pastilah kita pun harus melewati jalan yang sama dalam proses pengudusan (sanctification) kita.
2. Ketaatan kepada Otoritas Rohani adalah Perintah Tuhan
“Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.” Ibrani 13:17
“Pemimpin” yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin rohani di dalam gereja; mereka yang “berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya”. Tuhan memerintahkan ketaatan kepada pemimpin gereja bukan karena alasan birokrasi, melainkan supaya kepemimpinan berjalan di dalam keteraturan dan sukacita sehingga kita yang dipimpin memperoleh “keuntungan”. Istilah “tidak akan membawa keuntungan” sesungguhnya adalah satu kata di dalam bahasa Yunani (alysiteles), yang berarti dapat membahayakan (harmful) atau dapat melukai (hurtful). Tanpa penundukan diri, sesuatu yang membahayakan atau melukai dapat terjadi atas kita.
Tentu kita harus menyadari ada batas dalam menaati pemimpin rohani yaitu selama pemimpin rohani tersebut tidak melanggar firman Tuhan. Dalam kondisi ini kita harus tetap menghormati pemimpin tersebut.
3. Ketaatan Vertikal Terbukti Melalui Ketaatan Horisontal
Ketaatan kita kepada Tuhan dan Firman-Nya, membawa kita untuk juga mentaati pemimpin-pemimpin kita. Ketaatan yang vertikal pastilah menghasilkan ketaatan yang horisontal. Perhatikan betapa kuatnya Alkitab berbicara tentang mengikuti teladan atau menjadi pengikut (immitator, peniru) dari otoritas rohani kita:
“Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” 1 Kor 4:16
“Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” 1 Kor 11:1
Meskipun otoritas rohani adalah manusia yang tidak sempurna, kita tetap diminta untuk mengikuti teladan mereka. Hal ini mungkin bertentangan dengan logika kebanyakan orang. Mengapa demikian? Karena proses tersebut menghasilkan buah ketaatan yang terbaik di mata Tuhan, di mana sebenarnya kita sedang mengandalkan kasih karunia Tuhan; bukan kekuatan manusia.
4. Ketaatan Menghasilkan Sukacita
Tuhan tidak meminta kita untuk taat seperti robot, taat dengan terpaksa karena tidak punya pilihan ataupun taat tanpa kasih. Ketaatan yang seperti itu sesungguhnya bukanlah ketaatan yang Alkitabiah. Sekalipun kita memiliki kebebasan untuk memilih tidak taat, namun kita memilih untuk taat karena mengasihi Tuhan.
“Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Yohanes 15:10-11
Jadi hidup dalam ketaatan yang digambarkan oleh dunia sebagai penghambat potensi pribadi, sama sekali tidaklah benar. Sebaliknya, ketaatan akan mendatangkan sukacita yang penuh. Sukacita dan kebebasan yang diperoleh tanpa hidup dalam ketaatan adalah suka cita yang semu. Sukacita yang sejati diperoleh dari hidup di dalam ketaatan.““